MUI Jelaskan Fatwa Haram Salam Lintas Agama: Tidak Semua Dalam Islam Bisa Ditoleransi



Fatahillah313 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan fatwa haram mengucapkan salam lintas agama. Fatwa itu dikeluarkan melalui Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII. 

Wakil Sekretaris Jenderal MUI KH Arif Fahrudin menjelaskan, toleransi adalah sunnatullah namun toleransi ada batasnya. Sepeti mencampur adukan aqidah dengan ritual agama lain, maka itu bukan toleransi dan ini dilarang. 

“Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi, yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah aqidah dan ritual keagamaan sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah," ujarnya dilansir keterangan tertulis, Sabtu 1 Juni 2024.

Namun, kata kiai Arif, dalam hal muamalah dan relasi sosial-budaya, toleransi Rasulullah SAW kepada saudara antar umat beragama sangat penting untuk diteladani oleh umat Islam.

Bahkan, dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menyatakan bahwa karakter beragama yang sangat dicintai oleh Allah SWT adalah perilaku beragama yang lembut dan penuh toleransi yaitu Islam. 

Termasuk juga riwayat tentang kasih dan sayangnya Rasulullah SAW terhadap seorang nenek Yahudi yang tuna netra yang selama hidupnya selalu menjelek-jelekkan Rasulullah SAW. 

Kiai Arif yang juga Anggota SC Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII ini menjelaskan, keputusan dalam fatwa salam lintas agama juga memperhatikan pertimbangan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang plural.

Misalnya, jika dalam suatu wilayah dimana populasi umat Islam tidak dominan sehingga secara budaya mereka tidak bisa menghindari tradisi interaksi lintas agama sebagai bentuk ekspresi kerukunan. 

"Adanya kekhawatiran jika umat Islam dinilai tidak pro aktif memperkuat kerukunan antar umat beragama, maka umat Islam di wilayah tersebut memiliki alasan syar'i (udzur syar'i) untuk tidak menghindari tradisi toleransi tersebut selama tidak diniatkan sebagai bentuk amaliah ibadah dan akidah" paparnya. 

Demikian halnya dengan muslim yang menjadi pejabat pemerintahan atau pejabat publik saat menyampaikan sambutannya di acara pemerintahan. 

Fatwa Ijtima Ulama MUI menganjurkan agar pejabat seyogyanya bisa menjalankan fatwa hasil Ijtima Ulama tersebut.  

“Pejabat juga diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun jika hal di atas tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar'i (udzur syar'i) dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah, ” ujarnya.  

Kiai Arif meyakini bahwa rakyat Indonesia sudah matang dan dewasa dalam toleransi beragama. Sehingga tidak perlu terjebak kepada "kelatahan toleransi", yaitu jika tidak mengucapkan salam lintas agama dinilai intoleran atau anti kebangsaan, dan jika mengucapkan salam lintas agama otomatis dinilai toleran. 

"Tidak sesederhana itu ukuran jiwa kebangsaan dan jiwa toleransi diukur" pungkasnya.  (*)

Sumber :   FIN