Fatahillah313 - Politik ‘cuci tangan’ sering jadi jalan keluar bagi mereka (politisi) yang enggan bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuat. Parahnya, perilaku ini sudah dianggap biasa saja. Filsuf terkenal asal Inggris, Thomas Hobbes menyebutnya dengan istilah ‘homo homini lupus’. Artinya adalah manusia bagaikan serigala bagi manusia lainnya.
"DPR jangan 'cuci tangan'," kritik Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal saat memimpin aksi unjuk rasa menolak kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di area Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (6/6/2024) lalu.
Ia bersama ribuan buruh turun ke jalan mewakili jeritan masyarakat, dari kalangan pekerja yang merasa hidupnya terancam, khawatir pemerintah sedang berusaha menambah penderitaan rakyat di zaman serba mahal seperti sekarang ini.
Di tengah keriuhan, sebagian dari wakil rakyat di Senayan seolah memanfaatkan momentum untuk pencitraan, menunjukkan dirinya atau partainya berada bersama rakyat, kompak menyudutkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dari sembilan fraksi di DPR, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PDIP belakangan ini lantang menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemotongan 3 persen dari gaji karyawan setiap bulannya, rakyat dipaksa menabung demi bisa membeli rumah kelak. Sebagaimana diamanatkan PP nomor 21 tahun 2024.
“Ide dasarnya bagus. Di sejumlah negara maju, konsep yang sama juga diterapkan. Namun melihat kondisi kesejahteraan pekerja Indonesia yang belum membaik, pilihan tidak memberi beban tambahan harus menjadi prioritas,” kata politikus PDIP Hendrawan Supratikno kepada Inilah.com

Selain dianggap tidak peka dengan kondisi terkini masyarakat, Jokowi juga dinilai tidak cermat dalam meramu PP yang ia teken pada Mei lalu. Alasannya, tidak dijelaskan secara rinci soal di mana lokasi akan didirikan rumah bagi masyarakat, dan seberapa jauh jarak perumahan dari tempat kerja.
“Apalagi BP Tapera yang akan mengelola belum banyak dikenal dan belum dipercaya, bagaimana kalau jadi kasus seperti Jiwasraya?” ujar Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera khawatir, saat berbincang dengan Inilah.com.
Ketidakpekaan dan ketidakcermatan ini membuat pemerintahan Jokowi disamakan dengan VOC yang memungut pajak dari penduduk jajahan, sebagaimana disuarakan warganet di jejaring media sosial X (Twitter). Baiklah, untuk sementara mari kita sepakati bahwa pemerintahan saat ini benar 'titisan' kompeni.
Tapi tidaklah adil jikalau hanya menyudutkan dan melabeli buruk pemerintah, karena PP 21/2024 tidak ujug-ujug muncul begitu saja. PP ini adalah aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera, yang disahkan dari usulan inisiatif DPR. Semua fraksi yang duduk di DPR periode 2014-2019, termasuk PDIP dan PKS yang sekarang ikut mengkritik iuran tapera, dulunya sangat mendukung berlakunya UU Tapera.
Lebih dari mendukung, ternyata Fraksi PDIP memimpin Panitia Khusus (Pansus) yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) ini. Dan terlihat begitu bangga saat mengesahkannya sebagai usulan inisiatif DPR.
“RUU Tapera ini adalah RUU inisiatif DPR yang pertama kali dalam periode 2014-2019 yang masuk dalam prolegnas yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah untuk diprioritaskan dalam tahun 2015,” kata Ketua Pansus RUU Tapera kala itu, Yoseph Umar Hadi dari Fraksi PDIP.
Fraksi PKS di DPR kala itu juga secara khusus memuji pengesahan UU Tapera. Mengeklaim, UU ini akan menjadi solusi kebutuhan rumah yang kian meningkat. “Fraksi PKS memandang bahwa RUU Tapera memiliki arti penting dan strategis untuk membuka akses kepemilikan rumah bagi masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Sekretaris Fraksi PKS DPR RI Abdul Hakim, pada Juni 2016.
Kekompakan seluruh fraksi di DPR ini lah yang telah menyediakan payung hukum bagi pemerintah, bisa memaksa setiap warga negara menabung sebagian dari penghasilannya, agar dipupuk dan dimanfaatkan—konon katanya—menjadi rumah murah dan layak.
"Apa lagi yang mau dibahas? Sudah lah ya," respons politikus PDIP Hendrawan Supratikno, saat ditanya Inilah.com soal alasan partainya dulu secara sukarela dan sadar turut mengawal pengesahan UU Tapera.
Perubahan sikap PDIP dan PKS ini, dinilai pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus sarat kepentingan politik. Ia mengatakan sikap inkonsitensi kedua partai tersebut membuktikan bahwa proses legislasi di DPR memang bermasalah. “Dalam proses pembahasan UU Tapera DPR tidak serius dalam menguliti daftar inventarisasi masalah yang diajukan, karena sudah ada drafnya dan sudah disetujui oleh pemerintah jadi DPR tinggal oke saja,” tutur dia kepada Inilah.com.
Tapera Bukan Barang Baru
Sebelum Tapera, pemerintah Orde Baru pernah meluncurkan program Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) pada awal tahun 1993. Program ini diatur dalam Keppres 14/1993 yang kemudian diubah dengan Keppres 46/1994. Dana Taperum dikumpulkan untuk bantuan uang muka kredit rumah bagi PNS yang belum punya hunian, biaya membangun rumah bagi PNS yang memiliki tanah atau dicairkan ketika PNS yang sudah memiliki rumah pensiun. Besaran iurannya beragam, mulai dari Rp3.000 per bulan (PNS Golongan I) hingga Rp10.000 (PNS Golongan IV).
Sayangnya, pengumpulan dana Taperum tidak transparan hingga ditengarai telah terjadi penyelewengan. Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan baru bisa melakukan audit setelah reformasi. Ketika diaudit awal tahun 2000, diketahui ada kerugian sekitar Rp179,9 miliar. Seiring berjalannya waktu, kasus dugaan kebocoran dana Taperum-PNS menguap begitu saja.
Pemerintah pun resmi membubarkan Bapertarum-PNS—badan pengelola dana Taperum—pada 24 Maret 2018 atau tepat dua tahun sejak UU Nomor 4 tahun 2016 tentang Tapera disahkan. Pembubaran tersebut kemudian diikuti dengan proses likuidasi aset untuk dan atas nama Bapertarum-PNS. Pembentukan Tim Likuidasi dilakukan pada tahun 2020.
Di era Jokowi, pemerintah menerbitkan PP 25/2020—kemudian diubah ke PP 21/2024—yang menjadi dasar Tapera. Melalui peraturan tersebut, dibentuklah BP Tapera yang bertugas untuk mengelola dana yang dihimpun, meliputi pengerahan, pemupukan, dan pemanfaatan dana Tapera.
Dana Tapera dikumpulkan melalui iuran sebesar 3 persen dari gaji per bulan pegawai ASN, TNI, Polri, BUMN, BUMD, BUMDes, dan swasta. Iuran tersebut dibayarkan 2,5 persen oleh peserta pekerja dan 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja. Sementara untuk pekerja mandiri nantinya harus membayar penuh sebesar 3 persen per bulan.
Iuran wajib ini sontak menuai penolakan dari masyarakat, karena para pekerja sudah dibebani banyak potongan salah satunya iuran BPJS Kesehatan sebesar lima persen dari gaji dengan rincian, empat persen dibayarkan oleh perusahaan dan satu persen dibayarkan oleh karyawan.
Ada pula iuran BPJS Ketenagakerjaan yang wajib dibayarkan oleh karyawan dan pemberi kerja dengan besaran berbeda-beda, tergantung pada program yang diikuti, seperti Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Kematian (JKM). Kemudian potongan Pajak Penghasilan (PPh) yang besarannya dihitung berdasarkan tarif progresif, dengan tarif yang semakin tinggi untuk penghasilan yang semakin besar.
Tapera Jangan Diwajibkan
Setelah mendapat penolakan keras dari berbagai kalangan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono menyatakan program Tapera kemungkinan diundur. Ingat! Diundur bukan dicabut. Basuki mengaku sangat menyesal dan tidak menyangka atas timbulnya kemarahan dari masyarakat dan berbagai pihak, terkait program Tapera ini.
"Jadi kalau misalnya ada usulan, apalagi DPR, misalnya ketua MPR untuk diundur, menurut saya, saya sudah kontak dengan Menteri Keuangan juga kita akan ikut. Dengan adanya kemarahan (Tapera) ini, saya pikir menyesal betul. Saya tidak nglegéwa (menyangka)," ujar Basuki di Jakarta, dikutip Jumat (7/6/2024).
Pengamat politik Adi Prayitno mengatakan boleh saja program ini tetap jalan, namun ia menyarankan, hendaknya Tapera bersifat opsional saja. Adi menegaskan, biar pekerja melihat produk tersebut sebagai produk pilihan. Jika cocok dengan preferensi dan kapasitas pendapatannya, maka silakan diambil.
“Sebagian besar pekerja cicilannya hidupnya sudah banyak. Misalnya nyicil motor, bayar kontrakan bulanan, dan lainnya. Tentu (Tapera) jadi beban bagi pekerja. Yang paling krusial, ini tabungan kenapa diwajibkan. Mestinya dibebaskan mau nabung atau tidak. Lanjutkan saja (program Tapera), tapi jangan diwajibkan pekerja untuk nabung,” ujar dia kepada Inilah.com. (***)
Sumber : Inilah