Meski Negara Melindungi Kelompok Minoritas, Ketua MUI Mengecam Kopdar LGBT Asean di Jakarta: Tolak!


Fatahillah313 – Rencana pertemuan lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ) ASEAN yang menyerukan pertemuan tatap muka di Jakarta ditentang banyak pihak.

Penolakan itu tercatat meski kaum LGBT menikmati perlindungan negara di bawah kelompok Penyandang Kesejahteraan Masalah Sosial (PMKS).

Salah satunya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah KH Cholil Nafis.

Ia dengan tegas menentang rencana komunitas LGBTQ se-ASEAN untuk mengadakan kopdar di Jakarta.

Hal tersebut dibagikan Cholil pada Selasa (11/7/2023) melalui status Instagramnya @cholilnafis.

Dalam statusnya, Cholil beristigfar.

Dirinya menilai LGBTQ adalah perilaku menyimpang yang dapat merusak tatanan hidup Indonesia.

Sebab, ditegaskannya, LGBT sangat bertentangan dengan norma sosial, agama maupun Pancasila.

“Astaghfirullah. Ini sudah menyimpang terus masih mengampanyekan lagi. Saya selamanya menolak penyimpangan ini, khususnya di Indonesia,” tulis Cholil.

“Jangan sampai dianggap normal apalagi dilegalkan. Ini bertentangan dengan nirma agama, Pancasila dan kenormalan manusia. Tolak!,” tegasnya.

Dirinya pun mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak diam atas kehadiran para LGBT dalam acara yang diorganisasi oleh ASEAN Sogie Caucus bersama Arus Pelangi, dan Forum Asia itu.

“Jadi yg waras jangan diam dan jangan mengalah utk bersuara, bahkan …,. Ini melanggar segalanya termasuk fitrah manusia. Tapi malah yg waras yg disalahkan,” ungkap Cholil.

“Bismillah… Lawan! Selamatkan bumi dan selamatkan Indonesia,” tegasnya.

Dalam postingan selanjutnya, LGBT dijelaskan Cholil merupakan perilaku menyimpang.

Seks sesama jenis, termasuk sodomi pun ditegaskannya adalah pelanggaran berat yang harus dihukum.

Oleh karena itu, Cholil meminta kepada pemerintah untuk melarang keberadaan LGBT di Indonesia.

“Orientasi Seks sejenis itu tdk normal, sedangkan melakukan sodomi itu kemunkaran yg harus dihukum. Makanya jangan pernah menganggapnya normal apalagi melegalkan,” ungkap Cholil.

“Saya minta pemerintah tegas melarang LGBTQ dan yg mengampanyekannya. Ayo obati dan luruskan bagi yg terjangkit penyakit itu,” jelasnya.

Pernyataan keras itu merujuk rencana pertemuan LGBTQ se-ASEAn di Jakarta pada 17-21 Juli 2023.

Acara yang diorganisasi oleh ASEAN Sogie Caucus bersama Arus Pelangi, dan Forum Asia itu sebelumnya disampaikan oleh akun instagram @aseansoegicausus.

Dalam postingannya, pertemuan bertajuk ASEAN Queer Advocacy Week (AAW) itu diharapkan menjadi wadah para aktivis LGBTQ.

Namun, seiring dengan banyaknya penolakan dari masyarakat, akun Instagram @aseansoegicausus itu kini telah dihapus.
Luhut: LGBT Juga WNI, Punya Hak Dilindungi Negara

Jauh sebelum rencana pertemuan LGBT se-ASEAN di Jakarta dipertentangkan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan angkat bicara soal polemik LGBT.

Luhut berpendapat bahwa mereka juga warga negara Indonesia yang derajatnya sama dengan warga negara lainnya di hadapan hukum.

“Mereka punya hak untuk dilindungi negara karena mereka juga warga negara Indonesia,” ujar Luhut dikutip dari Kompas.com pada Jumat (12/2/2016).

Oleh sebab itu, Luhut tidak setuju jika kelompok LGBT menjadi korban kekerasan di lingkungannya.

Luhut berpesan agar masyarakat merefleksikan diri dan bersikap bijak.

“Mereka pada dasarnya tidak mau juga seperti itu. Bagaimana kalau itu menimpa keluarga kita?” ujar Luhut.

“Jangan cepat menghakimi oranglah, kalau berbeda diusir, dibunuh. Silakan refleksikan diri sendiri saja,” ujar dia.
Komnas HAM Desak Negara Beri Perlindungan

Komnas HAM mendesak negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT) sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi dan program Nawacita.

Dikutip dari Kompas.com, Sikap Komnas HAM itu disampaikan dalam siaran pers yang diunggah di situs resmi Komnas HAM, menyikapi polemik soal LGBT belakangan ini.

Anggota Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, menyinggung pernyataan para pejabat publik yang kemudian secara terus-menerus dikutip oleh media.

Hal itu dianggap memperberat kehidupan komunitas LGBT yang telah mengalami beragam diskriminasi dan stigma.

Pernyataan para pejabat publik terkait LGBT, menurut Komnas HAM, justru bertentangan dengan tujuan Nawacita.

Pernyataan tersebut juga memicu kekerasan terhadap komunitas LGBT di berbagai daerah di Indonesia.

“Pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo, melalui program Nawacita, telah bertekad untuk memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar-warga,” kata Nurkhoiron.

Dalam penelitian Komnas HAM pada 2015, komunitas LGBT mengalami kesulitan dalam pemenuhan hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan perlakuan hukum yang adil, dan hak atas kebebasan berekspresi.

Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa media berperan besar dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait LGBT.

Pada 2006, di Yogyakarta, pertemuan para ahli HAM internasional diadakan untuk menyikapi berbagai penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, dan diskriminasi terhadap kelompok seksual minoritas.

Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang disebut Prinsip-prinsip Yogyakarta dan berisi penerapan hukum internasional HAM dalam hubungannya dengan orientasi seksual dan identitas jender.

Prinsip-prinsip Yogyakarta ini merupakan panduan universal untuk menerapkan hukum HAM internasional untuk pelanggaran yang dialami oleh kelompok seksual minoritas.

Prinsip Yogyakarta ini juga menjadi dasar Komnas HAM dalam mendorong terpenuhinya hak-hak kelompok LGBT oleh negara.

Nurkhoiron menambahkan, sesungguhnya keberadaan komunitas LGBT telah diakui oleh negara, antara lain dengan adanya Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 terkait kelompok minoritas, yang menyebutkan adanya gay, waria, dan lesbian.

Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27/2014 tentang Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Kerja Rencana Kerja Pembangunan Daerah tahun 2015 yang memasukkan gay, waria, dan lesbian dalam peraturan tersebut.

Namun, Komnas HAM menyesalkan, hal yang ada dalam berbagai peraturan negara tersebut tidak mengusung semangat dalam Prinsip-prinsip Yogyakarta, dan justru mendiskriminasi dan memberikan stigma terhadap komunitas LGBT.

Untuk itu, Komnas HAM mendorong agar para pejabat publik berhenti memberikan pernyataan negatif yang memicu timbulnya kekerasan dan pelanggaran HAM bagi komunitas LGBT.

Para pejabat publik juga diminta mengambil kebijakan dan program yang mengacu pada Prinsip-prinsip Yogyakarta terkait komunitas LGBT.

Komnas HAM juga meminta penegak hukum menghentikan segala bentuk pembiaran tindakan kekerasan yang dilakukan oleh ormas ataupun individu kepada komunitas LGBT.

Selain itu, media massa diminta memberitakan secara berimbang dan tidak memberitakan hal-hal yang menimbulkan stigma dan kekerasan bagi komunitas LGBT.

“Masyarakat untuk tidak melakukan diskriminasi dan kekerasan kepada komunitas LGBT,” pungkas Nurkhoiron.

Sumber : HajiNews