Fatahillah313, Jakarta - Komisi Yudisial (KY) telah resmi menerima laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim PN Jakarta Pusat perihal putusan penundaan pemilu. Dengan itu, KY akan mulai mendalami kasus tersebut.
"Siang ini KY telah menerima tim koalisi untuk pemilu bersih, di mana teman-teman dari tim koalisi itu telah menyampaikan laporan masyarakat terhadap kasus putusan PN Jakpus yang hari ini kita semua sedang diperdebatkan tentang penundaan pemilu, di mana kasus itu sesungguhnya adalah gugatan perdata," kata Ketua KY Fajar Mukti, di kantor KY, Jakarta Pusat, Senin (6/3/2023).
Mukti mengatakan KY akan segera menindaklanjuti laporan tersebut. Namun, dia menyebut KY tidak berwenang memeriksa putusan tersebut.
"KY tidak berwenang untuk memeriksa pada putusannya, maka KY akan terus mengawasi, proses upaya hukum, baik banding atau kasasi, kita akan kawal terus kasus tersebut, karena kita anggap hal ini cukup menjadi persoalan yang besar," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Joko Sasmitho mengatakan putusan PN Jakpus dinilai telah menghebohkan masyarakat. Dia menyebut, dengan adanya laporan resmi, pihaknya dapat segera memproses dugaan pelanggaran kode etik tersebut.
"Sebenarnya setelah terjadinya adanya putusan PN Jakpus memang menghebohkan sehingga kami selaku ketua pengawasan hakim investigasi, teman-teman menanyakan kepada kami, apakah sudah diperiksa belum hakimnya, bahwa memang KY merespons cepat ya, artinya belum ada laporan dari pelapor, biasanya kita sudah sudah mendalami ya, melalui tim investigasi, sudah cepat kita lakukan pendalaman, tentang dugaan adanya KEPPH (Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim), namun alhamdulillah, sudah ada pelapornya secara resmi melaporkan terkait dengan PN Jakpus itu," kata dia.
Joko mengatakan laporan tersebut akan diperiksa syarat-syaratnya terlebih dahulu. Dia menyebut jika persyaratan dinyatakan lengkap, maka akan masuk ke proses pemanggilan para terlapor.
"Kalau sudah ada pelapor yang resmi tentunya mekanismenya nanti akan kita cantumkan, kalau syarat-syarat sudah dipenuhi kita register ya, setelah diregister baru kita periksa, para hakim, dan pihak-pihak terkait," ungkap dia.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih melaporkan hakim PN Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial (KY). Laporan tersebut terkait putusan yang meminta KPU menunda tahapan Pemilu 2024.
"Kami menyampaikan laporan kepada KY tentang dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, majelis hakim PN Jakpus, yang memutus penundaan pemilu melalui sengketa perbuatan melawan hukum perdata, yang menurut kami hal tersebut melanggar peraturan kode etik dan perilaku hakim yang telah dibuat oleh KY dan MA," kata Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih, Saleh Alghiffari, di kantor KY, Jakarta Pusat, Senin (6/3/2023).
Menurut dia, hakim PN Jakpus yang memutuskan penundaan Pemilu telah melanggar kode etik hakim. Dia menyebut hakim PN Jakpus telah mengabaikan konstitusi.
"Harusnya seorang hakim, majelis hakim itu mengacu mendasarkan pelaksanaan tugasnya dengan pengetahuan yang luas, di mana kita nilai di dalam perkara ini majelis hakim itu mengabaikan konstitusi, mengabaikan pasal 22e ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan Pemilu itu dilaksanakan lima tahun sekali secara luber jurdil," ujarnya.
"Petitum pada perkara ini yang seharusnya diperiksa oleh majelis hakim ini pada putusan sela tentang kompetensi absolut, itu seharusnya tidak dilanjutkan," sambung dia.
PN Jakpus Perintahkan KPU Tunda Tahapan Pemilu
PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). PN Jakpus pun menghukum KPU untuk menunda Pemilu.
Gugatan perdata kepada KPU yang diketok pada Kamis (2/3/2023) itu dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 lalu dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Partai Prima merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Sebab, akibat verifikasi KPU tersebut, Partai Prima dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.
Padahal setelah dipelajari dan dicermati oleh Partai Prima, jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS, ternyata juga dinyatakan Memenuhi Syarat oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan. Partai Prima juga menyebut KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi yang menyebabkan keanggotaannya dinyatakan TMS di 22 provinsi.
Akibat dari kesalahan dan ketidaktelitian KPU, Partai Prima mengaku mengalami kerugian imateriil yang mempengaruhi anggotanya di seluruh Indonesia. Karena itu, Partai Prima pun meminta PN Jakpus menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan.
"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," demikian bunyi putusan tersebut.
(amw/dhn)
Sumber : Detik