Alloh Subhanahu Wata'ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."
[QS Al Isro' : 36]
Hingga sidang ke-empat pada tanggal 10 Januari 2023 lalu, dalam perkara Mubahalah Ijazah palsu Jokowi jaksa telah menghadirkan 13 orang saksi. Dari seluruh bukti yang dihadirkan, tidak ada satupun ijazah asli milik Jokowi, baik ijazah SD, ijazah SMP, ijazah SMA dan S-1 UGM milik Jokowi yang dihadirkan di persidangan.
Alih-alih menghadirkan bukti ijazah asli Jokowi, pada sidang Selasa (10/1) lalu, saksi Edy Kuncoro malah membawa ijazah aslinya. Yang dipersoalkan ijazah Jokowi, yang dibawa malah ijazah Edy Kuncoro. Persis seperti pepatah betawi 'Jaka Sembung Naik Ojek, Ga Nyambung Jek'.
Saat Jaksa melalui majelis hakim saya minta untuk menghadirkan bukti ijazah asli Jokowi, jaksa hanya terdiam. Malah sibuk menjelaskan agenda sidang selanjutnya, memeriksa saksi sekali lagi lalu dilanjutkan periksa ahli. Ini juga sama, yang ditanya apa, yang dijawab apa, jaka sembung bawa golok, ga nyambung kok.
Kenapa jaksa harus hadirkan bukti ijazah asli Jokowi? Karena jaksa mendakwa Gus Nur dan Bambang Tri mengedarkan kabar berita bohong melalui Mubahalah Ijazah palsu Jokowi. Jaksa yang mendakwa, jaksa pula yang harus membuktikan.
Jaksa dibebani pembuktian untuk menyatakan ijazah palsu Jokowi adalah berita bohong. Bagaimana caranya? dengan menghadirkan ijazah aslinya.
Kalau tidak ada ijazah aslinya, apa dasarnya Gus Nur dan Bambang Tri dituduh mengedarkan kabar atau berita bohong?
Anehnya, hakim tiba-tiba menyatakan akan memberikan penilaian tersendiri. Padahal, hakim juga sudah sependapat Jaksa yang memiliki kewajiban membuktikan dakwaan.
Padahal, dengan tidak dihadirkannya bukti ijazah asli Jokowi, dakwaan jaksa menjadi tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. berdasarkan pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP ditegaskan:
"Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan."
Tidak cermat, karena ada unsur pidana yang lewat soal keabsahan ijazah asli Jokowi. Menjadi tidak lengkap, karena tidak ada ijazah asli Jokowi. Menjadi tidak jelas mana ijazah yang palsu dan yang berbohong, karena tidak ada ijazah asli Jokowi.
Konsekuensinya, maka proses persidangan ini harus dihentikan karena hanya buang-buang waktu. Dakwaan materi ijazah Jokowi, tapi Jokowi dan ijazah aslinya tidak dihadirkan di persidangan.
Dalam ketentuan pasal 143 ayat (3) ditegaskan:
"Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum."
Dalam memutus perkara, agar hakim tidak memberikan penilaian subjektif, maka hakim harus berpatokan pada ketentuan pasal 183 KUHAP yang menyatakan:
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya."
Adapun alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP adalah:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.
Berdasarkan fakta persidangan, terungkap fakta hukum sebagai berikut:
Pertama, dari alat bukti berupa keterangan saksi, tidak ada satupun keterangan saksi yang mengetahui langsung keaslian Ijazah Jokowi. Mayoritas saksi hanya mengetahui berdasarkan asumsi.
Asumsinya kalau Ijazah Jokowi palsu tidak akan mungkin menjadi Walikota Solo. Asumsinya kalau Ijazah Jokowi palsu tidak akan mungkin menjadi Gubernur DKI Jakarta. Asumsinya kalau Ijazah Jokowi palsu tidak akan mungkin menjadi Presiden RI dua periode.
Teman-teman Jokowi juga sama. Mereka semua hanya menerangkan pernah menjadi teman sekolah Jokowi, baik SD maupun SMP. Untuk teman SMA belum diperiksa, kemungkinan juga sama. Mereka semua saat ditanya, juga tidak pernah melihat langsung ijazah asli Jokowi.
Ada satu guru CATHARINI CRISTININGSIH, yakni kepala SD Tirtoyoso 111 yang mengaku pernah melihat ijazah asli Jokowi saat melakukan legalisir untuk Pilpres, namun keterangannya tertolak karena Saksi mengaku agama Islam tapi disumpah dengan injil. Saat di BAP menggunakan KTP Islam, saat diperiksa berjanji diatas injil. Jelas, keterangan saksi yang seperti ini tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, berdasarkan alat bukti Surat, tidak ada satupun surat berupa ijazah asli Jokowi yang dihadirkan di persidangan. Bukti surat berupa ijazah asli yang dihadirkan malah ijazah teman Jokowi yang tak ada hubungannya dengan Mubahalah Ijazah Palsu Jokowi.
Ketiga, keterangan terdakwa Bambang Tri justru meyakini ijazah Jokowi palsu. Gus Nur meragukan ijazah Jokowi, lalu meminta Bambang Tri melakukan Mubahalah.
Keempat, adapun keterangan ahli hanyalah pendapat. Mau seribu pendapat dari seribu ahli dihadirkan, tetap tidak bernilai. Karena yang dibutuhkan adalah Ijazah asli Jokowi.
Nilai pendapat ahli hanyalah 'jika demikian maka demikian'. Jika ijazah Jokowi asli, maka Bambang Tri dan Gus Nur bohong. Sementara, ahli juga tidak mengetahui keaslian ijazah Jokowi.
Kelima, bukti petunjuk justru mengkonfirmasi kasus ini dipaksakan dan ada desain intervensi kekuasaan. Terbukti dari adanya saksi kristen mengaku muslim, juga keterlibatan Anto kakak Iriana Jokowi yang ikut mengkondisikan saksi saksi untuk diperiksa di Polres Surakarta tanpa panggilan polisi.
Al hasil, kita semua dapat menilai kasus ini tidak dapat dibuktikan oleh jaksa karena jaksa tidak dapat menghadirkan ijazah asli Jokowi. Hakim tidak boleh memberi penilaian subjektif, dengan tetap ngotot menghukum terdakwa tanpa dua alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 183 KUHAP.
Kesimpulannya, jika sampai sidang besok (Selasa, 17/1) Jaksa tidak dapat menghadirkan ijazah asli Jokowi maka demi hukum hakim harus memvonis bebas Gus Nur dan Bambang Tri. Hakim tidak boleh ikut-ikutan mengadili dengan asumsi, seperti keterangan saksi yang hanya yakin ijazah Jokowi asli karena Jokowi Presiden, tanpa melihat langsung wujud fisik ijazah aslinya. [].
Oleh : Eggi Sudjana
Ketua Umum TPUA/ Kuasa Hukum Gus Nur & Bambang Tri Mulyono