Kecurigaan dan Keraguan Terhadap Rencana Jalan Berbayar

 

Masyarakat meminta pemerintah membuat langkah komprehensif dan terintegrasi.

ASHA, JAKARTA -- Rencana penerapan jalan berbayar di 25 ruas jalan di DKI Jakarta direspons skeptis masyarakat. Upaya untuk mengurangi kemacetan Ibu Kota dinilai tidak bisa dilakukan dalam satu langkah kebijakan. Masyarakat meminta pemerintah membuat langkah komprehensif dan terintegrasi untuk membereskan kemacetan yang sudah akut.

Warga Kecamatan Semplak, Kabupaten Bogor, Dita (24 tahun), yang bekerja sebagai fotografer persalinan di Jakarta menilai kebijakan electronic road pricing (ERP) ini tak bisa menyelesaikan kemacetan. Kebijakan ini sama halnya seperti penerapan ganjil-genap kendaraan bermotor.

“Menurut aku sih ini nggak akan efektif. Orang yang memang urgensinya tinggi untuk melalui jalan itu ya akan tetap lewat situ. Pun peraturan jalan berbayar, orang tetap akan lewat dan bayar,” ujar dia kepada Republika, Rabu (11/1).

Dita berpendapat, jika tujuannya untuk mengurangi kemacetan dan membiasakan masyarakat menggunakan transportasi umum, butuh waktu lama untuk membentuk budaya tersebut. Sehingga hal tersebut tidak bisa diubah sekejap dengan peraturan yang hanya akan memberatkan pengguna jalan.
“Tapi, saya nggak bisa apa-apa selain pada akhirnya terima saja. Orang kalau sudah urgensinya memang lewat situ mau bagaimana lagi,” kata Dita.

Warga Cibinong, Kabupaten Bogor, Darristya (26), menilai, besaran tarif yang diterapkan di 25 ruas jalan tersebut akan menjadi penentu apakah kebijakan tersebut efektif atau tidak. Sebab, jika tarif yang diterapkan murah, ia tidak akan merasa keberatan dan tetap melewati jalan tersebut tanpa berpikir panjang.

“Sama aja kayak lewat tol kan. Efektifnya bukan ngurangin volume kendaraan, tapi buat ngumpulin duit,” ujar Darristya.

Dia menambahkan, jika ingin mengurangi kemacetan sebaiknya kendaraan umum diperbanyak dan diperbaiki. Sehingga masyarakat akan berpindah menggunakan kendaraan umum daripada kendaraan pribadi.
“Jalan berbayarnya bikin mahal sekalian, banyakin lagi dah tuh kendaraan umum. Saya pribadi berat atau tidaknya bergantung berapa tarifnya nanti,” ujarnya.

Warga lain dari Cibinong, Sandy (27), menilai jalan berbayar untuk kendaraan pribadi ini kurang solutif. Sebab, jalanan merupakan fasilitas masyarakat yang dibayar melalui pajak setiap tahunnya. Belum lagi, kata dia, jika ada rumah sakit, klinik, atau sekolah di ruas jalan yang akan berbayar nanti. Masyarakat harus berkali-kali bayar untuk melewati jalan tersebut.

“Kadang solusi pakai bayar-bayar gitu bukan sesuatu yang solutif. Toh jalan tol saja kadang lebih macet dibanding jalan biasa,” ujarnya.

Sejumlah warga yang tinggal di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang bekerja di Jakarta pun tidak setuju dengan rencana kebijakan tersebut karena berkaitan dengan belum memadainya transportasi publik serta menganggap hanya akan menggeser titik kemacetan.
“Soal ERP ini tentu aku tidak setuju sebagai warga kota satelit. Hal ini karena, pertama, adanya ERP tentu akan mempersulit kita mengakses Jakarta sebab belum ada moda transportasi yang efisien waktu dan biaya serta terintegrasi untuk menghubungkan Jakarta dan kota satelit,” kata Eti Setyarini (31), warga Bintaro, Tangsel, kepada Republika.

Eti mengatakan, transportasi publik yang ada saat ini memakan waktu banyak dan mahal karena harus melanjutkan perjalanan dengan menggunakan transportasi ojek daring. Sementara itu, jika menggunakan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor, cenderung lebih cepat dan murah.

“Kedua, ERP juga memaksa kita untuk mengeluarkan biaya transportasi yang lebih banyak karena harus bayar ERP kalau mau lewat,” kata perempuan yang berkantor di Jakarta Pusat tersebut.

Alasan ketiga, menurut Eti, ERP bertentangan dengan konsep bahwa jalan merupakan barang publik. Sehingga, seharusnya peruntukannya adalah masyarakat secara umum tanpa adanya pengecualian.
“Menurutku, karena jalan raya itu dibangun dari APBN/APBD ya seharusnya penggunaannya untuk masyarakat luas, bukan dibatasi bagi yang mampu bayar saja. Karena kalau dibatasi gitu jadinya excludable (dikecualikan) kayak private good,” ujar dia.

Ketika disinggung terkait dengan tujuan pemberlakuan ERP adalah untuk mengurangi tingkat kemacetan, Eti menyampaikan pandangan yang empiris mengenai hal itu. Menurut dia, mengurangi kemacetan bukan merupakan kebijakan parsial, melainkan kebijakan yang harus komprehensif dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.

Di lain sisi, dia menilai, hingga saat ini belum terlihat niatan dari pemerintah pusat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Di antaranya, berkaca dari adanya insentif pembelian kendaraan listrik dan mendorong penjualan mobil pada masa pandemi dengan memberi diskon PPnBM (pajak penjualan barang mewah).

“Kalau kondisi kayak gitu paling kalau Pemprov DKI Jakarta kekeuh menerapkan ERP dengan alasan buat mengurangi kemacetan, paling pada akhirnya cuma geser kemacetan ke jalan-jalan yang enggak berlaku ERP,” ujar dia.
Senada, Kiki (30), salah satu warga Rawabuntu, Serpong, Tangsel, yang kerap menggunakan sepeda motor ke tempat kerjanya di Jakarta mengaku alasan menerapkan ERP untuk mengurangi kemacetan masih ditanggapi skeptis olehnya. Terlebih, baginya, transportasi publik dari tempat tinggalnya belum memadai untuk menuju tempat kerjanya di Jakarta Selatan.

“Ya pasti sih saya yakin itu bakal bikin kemacetan di jalan yang enggak berbayar. Lagi pula kalau mau pakai transportasi umum agak susah, ada biaya-biaya lain,” ujarnya.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo sebelumnya mengatakan, berdasarkan kajian Pemprov DKI, tarif jalan berbayar di Jakarta akan menyesuaikan dengan tata ruang sekitar. Ditanya kisaran harga yang ada, direncanakan ada di angka Rp 5.000 hingga Rp 19 ribu. “Akan ada di antara angka itu,” kata Syafrin.
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, implementasi jalan berbayar elektronik masih jauh diberlakukan di Jakarta. Pasalnya, sejauh ini masih harus melalui beberapa tahap pembahasan di DPRD DKI Jakarta hingga proses bisnis dan koordinasi dengan pemerintah pusat.

“Kira-kira itu masih ada tujuh tahapan. Itu dibahas mulai 2022 dan dilanjutkan mungkin 2023,” kata Heru, Rabu (11/1).

Sejauh ini, kata dia, di DPRD, masih menunggu empat tahap, dari rapat kerja Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) untuk pembahasan pasal-pasal, setelah itu akan dilanjut ke proses rapat pimpinan gabungan untuk pembahasan hasil laporan raperda. Setelahnya, dilakukan fasilitasi raperda oleh menteri dalam negeri dan diakhiri oleh rapat pengesahan perda.

Secara umum, kata dia, proses di DPRD sebagai rancangan peraturan daerah (raperda) masih dalam pembahasan oleh Bapemperda hingga nanti akhirnya disetujui di rapat paripurna. Setelah resmi menjadi perda, proses pun belum selesai. “Masih dibahas lagi, bisa pergub, bisa kepgub. Setelah itu baru proses lagi untuk bisnisnya,” kata Heru.
Heru menjelaskan, proses bisnis ke depannya tentu masih harus dikaji dalam pembahasan. Dalam prosesnya, akan ditentukan badan usaha mana yang akan mengelola kegiatan tersebut. “Itu juga dibahas dengan DPRD. Baru nanti titiknya ditentukan di mana saja, walaupun kita sudah tahu titiknya tidak jauh dari yang sekarang dikenakan 3 in 1,” ujar dia.

Tak sampai di sana, setelah bisnis dikoordinasikan, pembicaraan berikutnya akan membahas tarif yang digunakan, dan perlu koordinasi dengan pemerintah pusat. 

Sumber : REPUBLIKA.ID