Jihad Medsos, Jika yang benar tidak bersuara maka yang salah akan bersuara dan merusak tatanan kehidupan beragama, berbangsa dan beragama

 

ASHA - “Mengfungsikan pembicaraan lebih utama daripada  mengabaikannya”, sebuah kaidah fikih yang banyak dibicarkan dalam kitab kuning (turas). 

Imam al-Isnawi al-Syafi’i (w. 772 H) dalam kitab al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul menyebutkan redaksi yang kuno dan agak berbeda; “jika mungkin mengfungsikan ucapan maka itu lebih baik daripada mengabaikannya” atau Ibnu Nujaim al-Hanafi (w. 970 H) dalam kitab Asybah wan Nadzair menambahkan kata-kata “…jika tidak memungkinkan maka ucapan itu diabaikan”.

Kaidah ini tidak hanya prinsip dalam fikih, melainkan juga prinsip dalam dakwah yang sudah ditanamkan di dunia pendidikan setelah melewati fase “belajar sebelum bicara” dan “berilmu sebelum memimpin”. 

Menurut kaidah ini, bagian dari dakwah orang yang bodoh atau tidak tahu adalah diam ketika ada orang yang berilmu, dan orang yang berilmu pun dalam hal etika juga diam jika ada yang lebih berilmu. 

Diam ini kemudian disebut dengan fiqh al-Shumti atau dakwah bil hal. 

Alahkah terpuruknya jika sosial media yang digemari oleh semua kalangan didominasi oleh konten-konten yang merusak atau dakwah-dakwah yang ekstrim. 

Terlebih dakwah melalui media sosial lebih banyak diikuti daripada dakwah melalui Televisi.

Konsep jihad dalam Islam sangat luas. Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in secara jeli mengakhirkan pembahasan jihad perang melawan orang kafir dan mendahulukan jihad pendidikan seperti menghidupkan lembaga keagaman dan keilmuan, membela orang lemah dan tertindas, melakukan amar makruf nahi mungkar, melawan korupsi dan seterusnya.

Termasuk dalam hal ini mendidik anak atau generasi bangsa dan penerus perjuangan Rasulullah Saw juga merupakan jihad. 

Dengan kata lain, jihad bukan kewajiban tujuan melainkan perantara sebagaimana tujuan perang adalah tersampainya hidayah.

Kaidah ini berlaku dalam bidang-bidang kehidupan yang tak terbatas, termasuk literasi dakwah digital. 

Ketika para Ulama sepakat dengan keabsahan kaidah ini maka orang yang berilmu atau orang alim dituntut mengamalkannya, bukan karena bakhil ilmu itu diharamkan, melainkan diamnya orang berilmu di tengah arus informasi dan kaburnya sanad serta keahlian bisa membahayakan pemahaman umat dan masyarakat yang tidak selektif. 

Ditambah semakin menjamurnya buzzer negatif di media sosial, terlebih di musim Pemilu yang memanggil para da’i dan Ulama untuk terjun jihad bil medsos.

Kaidah ini memuat kaidah-kaidah cabang didalamnya seperti kaidah “hukum asal adalah tidak men-nasakh (meralat)” sebagaimana Muhammad Rasyid Ridla menyebutnya sebagai madzhab jumhur Ulama Salaf (abad I-III H) maupun Khalaf (abad IV-Sekarang). 

Jika kaidah ini terkait nash al-Qur’an dan Sunnah, maka dalam konteks perkataan manusia yang berpeluang viral di medsos terancam sulit untuk di-nasakh atau diralat, bahkan akan menjadi warisan abadi bagi siapapun, dikenal atau tidak dikenal. 

Jika pesan yang viral itu benar dan manfaat maka itu berpahala dan sebaliknya.

Selain itu, kaidah cabangnya adalah “mengangkat hal baru (ta’sis) lebih utama daripada menguatkan yang sudah ada (ta’kid)”. 

Ini sesuai dengan watak medsos yang cenderung mengangkat hal-hal baru dan menarik perhatian meskipun hanya penyampaiannya. Cara mengulang atau menguatkan yang sudah ada tidak akan dilirik oleh netizen dan peluang untuk dibaca atau kebermanfaatannya juga kecil.

Dalam berurusan dengan medsos, orang yang berilmu membutuhkan ilmu lain untuk menyampaikan ilmunya sebagaimana ilmuwan masih membutuhkan ilmu untuk mengamalkan ilmunya. Kenyataan  peradaban digital ditentukan oleh kemampuan komunikasi bukan semata kekayaan subtansi. Dalam “bahasa pesantren” disebutkan kaidah الطَّرِÙŠْÙ‚َØ©ُ Ø£َÙ‡َÙ…ُّ Ù…ِÙ†َ المَادَØ©ِ yang artinya metode lebih penting daripada materi.

Ketika dakwah mudah dilakukan di era medsos masa kini, seorang alim tidak punya alasan untuk tidak menyebarkan ilmunya. 

Ketika seorang da’i harus mengetahui penuh tentang hal yang disampaikan maka seorang yang berilmu juga harus mendakwahkan atau menzakatkan ilmunya. 

Segala sesuatu ada zakatnya dan zakat ilmu adalah menyebarkannya. Batasannya adalah tidak menjatuhkan masyarakat umum dalam kebingungan dan perpecahan.

Kewajiban jihad bil medsos telah menggantikan kewajiban perang zaman dahulu. 

Jika yang benar tidak bersuara maka yang salah akan bersuara dan merusak tatanan kehidupan beragama, berbangsa dan beragama.

Tidak sedikit negara berantakan karena yang berilmu diam sebagaimana Afghanistan dan negara-negara konflik yang lain.

Sumber : IslamKaffah