ASHA - 1 Oktober 2022, menjadi waktu kelam bagi dunia Sepakbola Indonesia. Tragedi kelam dan mengenaskan ini terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang. Mengenaskan sekaligus menyedihkan. Kejadian terjadi setelah laga sengit antara dua musuh bebuyutan, Arema Malang melawan Persebaya Surabaya.
Hingga artikel ini ditulis, tragedi tersebut menelan 182 korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka.
Pemicu pertama tragedi ini dimulai saat pertandingan tuan rumah (Arema) harus menerima kekalahan dari tim tamu (Persebaya) dengan skor 2-3.
Tidak terima dengan kekalahan tersebut, suporter dari tim bertajuk Singo Edan berbondong-bondong memasuki lapangan untuk melayangkan aksi protes.
Namun tidak bisa dimungkiri, ada sumber juga yang mengatakan bahwa sebenarnya suporter hanya ingin memberikan motivasi untuk pemain dan official Arema yang tertunduk kecewa karena kekalahan tersebut.
Terlepas dari apa pun motifnya, kondisi pada saat itu sudah tidak bisa dikendalikan karena sangat banyak massa yang masuk lapangan, sehingga mengakibatkan kericuhan di tengah-tengah stadion.
Tindakan sadis dan kejam pun menjadi alternatif dari aparat untuk mendorong mundur massa yang berada di tengah lapangan hijau.
Menghantaman dengan tameng, menedang suporter, pentungan dengan tongkat panjang, dan bahkan menembakan gas air mata.
Tembakan gas air mata yang dilakukan disinyalir menjadi salah satu penyebab banyaknya korban yang berguguran, karena gas air mata merupakan salah satu senjata untuk melumpuhkan musuh dan berbahaya bagi keadaan biologis manusia.
Sasaran dari penembakan gas air mata yang dilakukan tentu menjadi sorotan, pasalnya penembakan bukan hanya ditujukan pada titik kericuhan (lapangan) tetapi juga di tribune yang masih dipenuhi ribuan penonton (tribune 10).
Adapun dalih dari penembakan tersebut disasar kedalam tribune karena aparat merasa sebagai langkah preventif agar penonton lainnya tidak ikut ricuh ke dalam lapangan.
Para suporter yang panik karena tembakan gas air mata, tentu kocar-kacir berlarian mencari pintu keluar.
Pada akhirnya, karena ribuan orang yang berebut ruang untuk keluar maka terjadi desak-desakan. Kondisi ruangan yang penuh asap dari gas air mata cukup bikin sesak, ditambah dengan kondisi berhimpit-himpitan membuat massa berjatuhan sehingga akhirnya terinjak oleh masa yang lain.
Parahnya beberapa video yang beredar menunjukkan bahwa ketika kondisi tersebut terjadi, pintu keluar tribune malah tertutup. Jika memang video tersebut valid.
Bagi penulis, ini sudah merupakan suatu upaya pembantaian secara massal dengan terencana (genosida).
Analoginya, bagaikan nyamuk yang dimasukkan kedalam sebuah botol, disemprot baygon lalu botolnya ditutup. Silakan anda sendiri yang menyimpulkan dampaknya.
Kegagalan Aparat
FIFA Stadium Safety and Security Regulation pada pasal 19 telah menjelaskan bahwa membawa atau menggunakan senjata api dan gas air mata ke dalam stadion merupakan suatu hal yang dilarang baik dalam kondisi apa pun.
Hal ini menandakan, Tindakan yang dilakukan oleh pihak aparat merupakan penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use force) dalam hal penanganan dan pengendalian kerusuhan di dalam stadion.
Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian juga menuai kejanggalan dalam implementasinya, karena telah dijelaskan bahwa penggunaan gas air mata dilakukan apabila tahap pengendalian situasi dan peringatan lisan tidak digubris oleh massa.
Selain daripada itu, Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengendalian Massa juga mengatur bahwa tidak dihalalkan dalam kondisi khusus apa pun bisa dijadikan dasar oleh aparat polisi untuk melakukan tindakan represif, bahkan ditegaskan dengan jelas bahwa dilarang bersikap arogan dan melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur kepolisian.
Dalam hal penanganan aparat justru malah menunjukkan masih adanya kecacatan dalam memahami regulasi yang ada. Tindakan yang dilakukan di lapangan bertentangan dengan yang ada di dalam pedoman.
Represifitas yang dilakukan justru rasanya sudah menjadi budaya dan mengakar, bertindak tidak sesuai dengan prosedural dan tanpa memperhatikan prinsip hak asasi manusia (HAM).
Sejatinya, sudah menjadi kewajiban aparat kepolisian memegang teguh prinsip HAM dalam menjalankan tugasnya.
Penggunaan gas air mata serta tindakan represif merupakan bentuk nyata dari kultur kekerasan yang telah menjalar dalam institusi Polri.
Lembaga yang diharapkan menjadi pelindung masyarakat justru malah melakukan hal sebaliknya, sewenang-wenang melakukan tindakan yang dapat merenggut nyawa warga negara.
Usut tuntas tragedi Kanjuruhan
Represifitas mengatasnamakan stabilitas keamanan, serta penggunaan kekuatan secara berlebihan dalam menyelesaikan suatu permasalahan merupakan tindakan yang tidak mencerminkan sama sekali tujuan dari adanya institusi Polri. Sudah seharusnya, negara bertanggung jawab kepada korban dan keluarga korban untuk memenuhi kebutuhannya baik secara material maupun nonmaterial.
Tidak hanya sampai disitu, paling penting negara harus mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan Malang dengan prosedur dan mekanisme yang sepantasnya.
Karena tragedi Kanjuruhan adalah kesalahan fatal yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Maka, perlu untuk diusut tuntas kasusnya secara keseluruhan, menghukum pihak yang terlibat dengan seadil-adilnya dan memastikan agar tidak akan terjadi lagi dikemudian hari.
Penulis : Sugiyarto Mustakim
Sumber : KUMPARAN