Setelah sekian banyak kesaksian korban dilontarkan, investigasi media dalam dan luar negeri disajikan, jumpa pers Polri justru menekankan bahwa bukan gas air mata yang menjadi penyebab kematian para korban Tragedi Kanjuruhan.
"Tidak satu pun [ahli yang ditanyai Polri] yang menyebutkan bahwa penyebab kematian [korban Tragedi Kanjuruhan] adalah gas air mata, tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen.
Karena apa? Terjadi berdesak-desakan, terinjak-injak, bertumpuk-bertumpukkan mengakibatkan kekurangan oksigen di pada pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak," tutur Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, dilansir Tempo.
Di saat yang sama, Polri mengakui aparat menggunakan gas air mata kedaluwarsa dalam Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober lalu.
Tetapi Dedi juga memaparkan panjang lebar bahwa gas air mata kedaluwarsa lebih tidak berbahaya ketimbang gas air mata biasa.
"Jadi kalau sudah expired justru kadarnya dia berkurang zat kimia, kemudian kemampuannya juga akan menurun," terang Dedi.
"Kalau makanan, ketika kedaluwarsa makanan itu ada jamur ada bakteri yang bisa mengganggu kesehatan.
Kebalikannya dengan zat kimia atau gas air mata ini, ketika dia expired justru kadar kimianya berkurang.”
Penjelasan ini mengundang sinisme publik di berbagai media sosial. Kepolisian dianggap mengelak bertanggung jawab sejak awal atas kepanikan ribuan suporter yang berujung pada insiden di gerbang 13 Stadion Kanjuruhan.
Di Twitter, postingan pernyataan Dedi tersebut di akun Divisi Humas Polri mendapat lebih banyak quote tweet ketimbang likes, menandakan twit tersebut kontroversial.
Sejumlah netizen mencemooh dengan membuat perumpamaan lain. Misal menyebut Brigadir Yosua meninggal bukan karena dibunuh, tapi karena kehabisan darah.
Atau menyebut korban Tragedi Kanjuruhan meninggal bukan karena gas air mata, tapi jantungnya berhenti.
Kredit @viceind