KENAPA TIM HUKUM ADVOKASI BAMBANG TRI HARUS MENCABUT GUGATAN IJAZAH PALSU JOKOWI?
Oleh: Prof .DR . H. Eggi Sudjana, SH .M.Si.
Ketua Tim Hukum Advokasi Bambang Tri Mulyono, Penulis Buku Jokowi Undercover 1 dan 2.
ALLOH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَا ذْکُرُوْ انِعْمَةَ اللهِ عَلَیْکُمْ وَمِیْثَا قَهُ الَّذِیْ وَا ثَقَکُمْ بِهٖۤ ۖ اِذْقُلْتُمْ سَمِعْنَا وَاَ طَعْنَا ۖ وَا تَّقُوا اللهَ ۗ اِنَّ اللهَ عَلِیْمٌ بِۢذَا تِ الصُّدُوْرِ
"Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikatkan kepadamu ketika kamu mengatakan, "Kami mendengar dan kami menaati." Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 7) .
Bahwa kiranya dapat dipastikan banyak yang bertanya, mengapa gugatan ijazah palsu Jokowi harus dicabut? Bukankah, Penggugat Bambang Tri Mulyono meskipun ditahan Bareskrim Polri, kuasa hukum tetap bisa melanjutkan gugatan? Apalagi, ditengah besarnya harapan publik pada kasus ini.
Kami dapat memahami, kenapa banyak yang bertanya. Karena dimensi gugatan yang diajukan oleh klien Kami bukan _an sich_ soal kepentingan Bambang Tri Mulyono. Namun soal konsekwensi hukum mengenai keabsahan jabatan Presiden Joko Widodo yang artinya juga kepentingan seluruh rakyat Indonesia, bila terbukti ijasahnya palsu .
Pada saat kami menerima kuasa untuk menggugat, kami juga mempertimbangkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia tersebut . Justru karena alasan inilah, kami bersedia menjadi kuasa hukum Bambang Tri Mulyono, penulis buku Jokowi Undercover.
Namun kami TIDAK MENGIRA , klien kami DITANGKAP oleh Bareskrim dan ditahan di rutan Bareskrim. Kami mendaftarkan gugatan pada tanggal 03 Oktober 2022. Tidak berselang lama, Bambang Tri ditangkap pada tanggal 13 Oktober 2022.
Mulanya kami optimis, bisa melanjutkan perkara karena semestinya penyidik menghormati Perma nomor 1 tahun 1956 yang mengamanatkan proses perdata didahulukan daripada kasus pidananya. Karena itu, kami optimis hadir pada sidang perdana pada tanggal 18 Oktober 2022.
Kami juga berfikir untuk memberikan kesempatan kepada Presiden Joko Widodo untuk hadir pada sidang perdana, untuk membawa dan menunjukan ijazah aslinya. Sayangnya, kesempatan baik itu untuk mengakhiri polemik ijazah palsu ini tidak dimanfaatkan atau dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, karena sidang perdana, Presiden selaku pihak Tergugat malah tidak hadir dan juga tidak memberikan surat kuasa untuk orang yang mewakilinya di PN JAKPUS Sidang Perdana tersebut .
Dalam perjalanannya, klien kami proses pidananya lanjut dan ditahan dan tidak bisa ditangguhkan. Status tahanan ini, menyulitkan bagi klien kami untuk hadir dan terutama menyiapkan bukti dan saksi-saksi di persidangan. Sebab, semua bahan dokumen rujukan dan pihak-pihak yang akan dijadikan saksi sangat tergantung pada klien kami.
Karena alasan itulah, kami tim kuasa hukum bermusyawarah untuk kebaikan klien dalam perkara ini. Saya mengajak Adinda Ahmad Khozinudin, Yasin, Juju Purwantoro, Ricky Fattamazaya dan yang lainnya, untuk mengambil keputusan.
Dalam beberapa kali musyawarah, kami akhirnya berkesimpulan sebagai berikut:
Pertama, kami sepakat untuk mencabut perkara demi kepentingan klien. Sebab, melanjutkan kasus tanpa kehadiran klien yang saat ini ditahan, berarti sama saja menyodorkan perkara untuk dikalahkan.
Karena praktis, tanpa kehadiran Bambang Tri kami tidak bisa menghadirkan saksi-saksi yang harus dihadirkan di persidangan, yang keberadaan dan alamatnya harus dihubungi langsung oleh klien. Jadi, tanpa bukti dan saksi perkara dapat dipastikan akan kalah.
Kedua, dengan mencabut perkara -apalagi sebelum masuk pemeriksaan pokok perkara- menjadikan status gugatan dianggap tidak ada, nomor perkara dicoret dari register perkara, dan tidak perlu persetujuan Tergugat. Skor perkara menjadi seri, 0-0.
Suatu saat, ketika Bambang Tri sudah keluar dari tahanan, kasus dapat didaftarkan kembali. Jadi, hak hukum klien untuk dapat menggugat kembali tidak hilang (hapus).
Berbeda dengan kondisi memaksakan meneruskan perkara, masuk kedalam pokok perkara dan kalah, maka klien tidak dapat menggugat kembali. Pilihan ini jelas akan sangat merugikan klien kami.
Ketiga, kami dapat berkonsentrasi pada kasus pidana yang dialami klien kami. Dalam kasus ini, klien kami ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan ketentuan Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, pasal 156a huruf a KUHP dan/atau pasal 14 ayat (10 dan ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan pidana dan/atau pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan pidana.
Belum lagi, kami juga harus membela Gus Nur dalam kasus yang sama. Gus Nur juga ditetapkan menjadi Tersangka berdasarkan ketentuan Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, pasal 156a huruf a KUHP dan/atau pasal 14 ayat (10 dan ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan pidana dan/atau pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan pidana.
Jadi sekali lagi, kami sampaikan kepada segenap rakyat Indonesia yang tentunya juga ingin kepastian hukum pada kasus ini. Kami harus bertindak demi kepentingan hukum klien kami, dan kami berpandangan saat ini pilihan mencabut perkara adalah pilihan terbaik bagi klien. Perkara kami cabut dengan mengirim surat ke Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada tanggal 27 Oktober 2022.
Sebenarnya, jika MPR /DPR RI punya RASA TANGGUNG JAWAB struktural yang jujur , benar dan adil sesuai tupoksi DPR RI yaitu ; 1. Mengawasi jalan nya Pemerintahan
2. Membuat Legislasi
3. Mengatur Budgeting Bahwa sisi lain nya dari DPR RI , apakah mempunyai KERISAUAN atas masalah ini, kerisauan atas legalitas keabsahan jabatan Presiden Joko Widodo, tentunya DPR RI dapat menempuh upaya politik untuk memberikan jawaban kepastian pada segenap rakyat.
DPR dapat mengajukan hak interpelasi, hak angket, hingga hak menyatakan pendapat pada kasus ijazah palsu ini. Semua berpulang kepada DPR, apakah akan mewakili kehendak rakyat untuk mendapat kepastian akan ijazah Presiden, atau mengabaikan kasus ini sehingga menjadi noda hitam sejarah yang diwariskan pada generasi selanjutnya.
DPR melalui kewenangannya dapat 'memanggil paksa' Presiden Joko Widodo, untuk hadir dan menjelaskan ihwal ijazah yang dimilikinya. DPR juga dapat meminta Presiden untuk menunjukan ijazah aslinya (jika ada), masalahnya bagaimana bila Ijasah Asli nya tidak ada ? sehingga polemik mengenai ijazah palsu ini bisa segera diakhiri dengan Damai . [].