ASHA - Direktur Pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid dalam keterangan tertulisnya mengatakan wanita berhijab yang akan mencoba menerobos memasuki istana berinisial SE. Wanita itu diklaim memiliki pemahaman radikal serta diketahui merupakan pendukung salah satu ormas radikal, HTI.
Statement Nurwakhid ini sangat berbahaya, karena disampaikan secara prematur dan tidak sejalan dengan fakta hukum status Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Prematur, karena hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian yang menangkap, tentang motif dan tujuan pelaku memaksa menerobos istana.
Belum lagi, secara logika sangat tak logis seorang wanita berhijab, sendirian, mau menerobos istana, membawa senjata pistol jenis FN, hanya menodongkan kepada aparat, dan akhirnya dapat diringkus dengan standar pengamanan barang bukti yang sangat minim (terutama terkait identifikasi sidik jari pada senjata).
Hanya saja, biarlah fakta tentang keanehan itu diungkap oleh Netizen. Dan semoga, hasil pemeriksaan polisi tidak mengabarkan cerita yang tambah lucu.
Penulis melalui tulisan ini, hanya ingin fokus menjelaskan status hukum HTI. Walaupun tidak diminta, semoga penjelasan ini mampu memberikan pemahaman yang lurus kepada BNPT, sehingga tidak mudah menuduh radikal radikul, dan membuat cerita cerita yang mengait-ngaitkan kejadian di istana dengan HTI.
Bahaya sekali, karena statemen BNPT ini dapat mempengaruhi persepsi publik. HTI dan anggotanya, yang telah dicabut BHP-nya, bisa diasingkan masyarakat bahkan dapat kena fitnah stigma sebagai musuh masyarakat, radikal dan teroris.
Penulis ingin menegaskan kembali untuk kesekian kalinya, bahwa Ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bukanlah Ormas Terlarang, bukan Ormas radikal radikul. kesimpulan ini akan didapatkan bagi siapapun yang membaca dan menela'ah amar putusan PTUN Jakarta Timur, PT PTUN DKI Jakarta yang dikuatkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung.
Dalam amar putusan, nampak jelas bahwa isinya pengadilan hanya menolak gugatan HTI. Dengan demikian putusan hanya menguatkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.
Tak ada satupun amar putusan pengadilan, baik ditingkat PTUN Jakarta hingga Mahkamah Agung yang menyatakan HTI sebagai Ormas terlarang, Ormas radikal, dan stigma negatif lainnya. Tak ada pula, konsideran dalam Beshicking berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 yang menyatakan HTI sebagai Ormas terlarang atau radikal. Jadi, tak ada relevansinya mengaitkan HTI dengan radikalisme, apalagi dengan terorisme.
HTI dikenal luas dengan aktivitas dakwah yang anti kekerasan, murni pemikiran dan politik. Saat HTI belum dicabut BHP-nya, HTI selalu mengecam setiap tindakan terorisme, dari membunuh jiwa tanpa hak yang menimbulkan ketakutan, hingga penyerangan fasilitas publik yang dilarang oleh syariat Islam.
HTI hanya dicabut badan hukumnya, sehingga tak lagi memiliki hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab sebagai Ormas yang berbadan hukum. Namun sebagai Ormas tak berbadan hukum, HTI tetap sah, legal dan konstitusional sebagai Organisasi Masyarakat, mengingat berdasarkan ketentuan pasal 10 UU Nomor 17 tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, disebutkan bahwa Ormas dapat memilih opsi berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.
Putusan PTUN Jakarta dan MA hanya mencabut BHP HTI. Putusan PTUN Jakarta dan MA tak pernah merampas hak konstitusional warga negara yang terhimpun dalam HTI, untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Adapun Organisasi yang secara hukum tegas dibubarkan, dinyatakan sebagai Organisasi terlarang, paham dan ideologinya yakni Marxisme, komunisme, leninisme juga dilarang, adalah Organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ditetapkan berdasarkan TAP MPRS Nomor : XXV/TAP MPRS/1966.
Kenapa BNPT tidak pernah sekalipun menyebut sejumlah tindakan teror di negeri ini terkait dengan PKI? Mengapa BNPT justru dengan tendensi jahat, menyudutkan HTI dengan narasi Ormas Radikal?
Jadi, narasi HTI Ormas terlarang, radikal, menginspirasi terorisme adalah narasi politik yang dijajakan rezim Jokowi. Bukan status hukum yang memiliki dasar hukum yang jelas. Karena memang tak ada satupun status hukum atau produk hukum yang menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang atau radikal.
Hanya saja, penulis dapat memahami kenapa rezim ini selalu sibuk jualan radikal radikul. Menstabilisasi nilai rupiah yang hampir menyentuh Rp. 16.000 per dolar itu tidak mudah. Menyelesaikan kasus Sambo dan tragedi Kanjuruhan juga sulit. Apalagi, memastikan stabilitas politik akibat banyaknya protes rakyat akibat kenaikan BBM juga tak gampang. Mungkinkah, karena alasan itu BNPT harus teriak radikal radikul? [].
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Sastrawan Politik