Ketidakhadiran Presiden Jokowi Dalam Mediasi Merupakan Bukti Kesempurnaan Gugatan TPUA Dan Jokowi Harus Mundur!

ASHA - Pada agenda Mediasi Senin (14/6) lalu, Presiden Joko Widodo tidak hadir. Dalam kesempatan tersebut, advokat TPUA yang mendampingi Penggugat yakni Muhidin Jalih dkk, menolak untuk masuk pada pembahasan substansi mediasi kecuali pihak kuasa dari Tergugat menghadirkan kliennya, yakni Presiden Joko Widodo.

Berulangkali disampaikan kehadiran Presiden Jokowi sebagai pihak yang digugat untuk hadir secara langsung, sangat mempengaruhi hasil proses mediasi. Kecuali, Presiden memang tak menghendaki berdamai dan ingin menyelesaikan perkara melalui proses pemeriksaan pokok perkara. 

Akhirnya, Mediator mengabulkan dan meminta agar kuasa tergugat menghadirkan kliennya. Mediasi ditutup dengan tanpa menghasilkan kesimpulan apapun. Selanjutnya, mediasi dilanjutkan pada pekan depan hari Senin, 21 Juni 2021.

Seiring perkara gugatan pengunduran diri Presiden Joko Widodo ini bergulir, rupanya karut marutnya ekonomi Indonesia sebagai salah satu materi gugatan, semakin menampakkan kebobrokannya. Terakhir, rencana pemerintah yang akan mengambil pajak sembako dan sekolah menuai kritikan publik. Dua ormas Islam terbesar yakni Muhammadiyah dan NU telah menyatakan sikap penolakannya, juga mengenai HUTANG NEGARA yang terus meningkat tembus kurang lebihnya  10.000.000 Trilyun yang oleh PPMI dua tahun lalu SUDAH di ingatkan melalui KPK tapi tak dihiraukan nya ?

Bahwa untuk menghindari kritikan publik, Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terlihat sibuk mengklarifikasi. Dari soal pengenaan pajak sembako dan sekolah baru sebatas rencana, hingga soal bocornya RUU Perpajakan kepada publik.

Sebenarnya, hal ini juga menambah persoalan ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang akarnya tidak dapat dilepaskan dari ketidakmampuan dan kompetensi Presiden Joko Widodo mengelola pemerintahan.  Sehingga, tuntutan agar Presiden Joko Widodo mundur semakin relevan dan Urgent disuarakan.

Persoalan bangsa Indonesia, hari ini sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan pernyataan dan klarifikasi,  tidak bisa diselesaikan dengan mengganti Menteri. Hal yang sangat mendasar, adalah bahwa bangsa ini butuh kepemimpinan baru, butuh nahkoda baru sebagai solusi sebab, dan solusinya kunci ini baru terbuka saat Presiden Joko Widodo mengundurkan diri.

Disfungsi akut Presiden RI ini termasuk segala perbuatan presiden yang tak sejalan dengan konstitusi, merupakan perbuatan yang melawan hukum yang merugikan rakyat. Sementara siapapun yang melakukan perbuatan yang melawan hukum, wajib membayar ganti rugi.

Dalam ketentuan pasal 1365 Kuhperdata disebutkan :

"Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan"

Namun, mengingat ketentuan hukum di Indonesia Presiden tidak dapat dituntut secara pidana, maka mekanisme pertanggungjawaban yang dapat ditempuh adalah melalui proses impeachment. Kini Karena faktanya fungsi DPR RI mandul, dalam perkara terpisah kami juga menggugat DPR agar menjalankan fungsinya termasuk menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (HMP), kemudian diteruskan melalui proses hukum di Mahkamah Konstitusi dan berakhir dengan Sidang Istimewa MPR RI Pemberhentian Presiden dari jabatannya.

Disisi yang lain, Perlu kami tegaskan bahwa kerugian yang dialami oleh segenap rakyat Indonesia wabil khusus dalam perkara a quo yang dialami Penggugat wajib dibayar dengan ganti rugi. Dan Penggugat, menilai pengunduran diri Presiden Joko Widodo setimpal untuk membayar atas kerugian yang ditimbulkannya bagi bangsa dan negara Indonesia.

Pengunduran diri Presiden menjadi lebih simpel, jika itu dilakukan oleh Ir Joko Widodo atas inisiatif sendiri, dan bukan berasal dari paksaan dari putusan lembaga peradilan. Dengan demikian, Marwah dan Wibawa seorang Ir Joko Widodo lebih terjaga , setidaknya seperti President RI ke 2 , Suharto dengan Gentle nyatakan pengunduran dirinya tgl 21 mei 1998.

Namun jika Ir . Joko Widodo masih berkeras hati tidak mau mengundurkan diri, maka ini mengkonfirmasi dirinya TIDAK TAHU DIRI, maka apa boleh buat Keputusan Pengadilan lah yang akan memaksanya. Akan tetapi jika lembaga peradilan nantinya telah terkooptasi oleh kekuasaan, tentu semuanya berpulang kepada rakyat untuk mengambil pilihan jalan perjuangan untuk melakukan perubahan, yang pasti perubahan pasti terjadi atas ijin ALLOH SUBHANNAHU WA TA ALA. (SB)

Oleh : Prof .Dr. H. Eggi Sudjana Mastal, SH. MSi

Ketua TPUA = Tim Pembela Ulama dan Aktivis

Sumber : SuaraBerkarya