ASHA - Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Gus Muhaimin mengusulkan agar Pemiu 2024 ditunda atau diundur hingga satu tahun.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyebut usulan itu menyinggung aturan konstitusi di UUD 1945.
UUD 1945 mengatur soal masa jabatan presiden dan wakil presiden seperti diatur di Pasal 1 ayat 2. Lalu soal penyelenggaraan Pemilu setiap lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD dan membentuk MPR seperti diatur di pasal 2 ayat 1.
"Secara spesifik Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali," kata Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan tertulis, Minggu, (27/2/2022).
Aturan yang dia sebut, berkaitan erat dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD serta presiden dan wakil presiden.
Setelah 5 tahun menjabat, maka penyelenggara negara itu berakhir dengan sendirinya.
Karenanya, jika ditunda melebihi 5 tahun, jabatan penyelenggara negara tak punya dasar hukum.
"Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya “ilegal” alias “tidak sah” atau “tidak legitimate”," tutur Yusril Ihza Mahendra.
Karena ilegal, maka tidak ada kewajiban bagi warga negara untuk patuh pada pemerintah atau membangkang pada DPR, DPD dan MPR bahkan pada presiden dan wakil presiden serta para menteri.
"Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal.
Yusril mengatakan penyelenggara negara (eksekutif) yang masih legal di tingkat pusat, tinggal lah Panglima TNI dan Kapolri.
Pasalnya kedua penyelenggara negara ini hanya dapat diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan DPR.
"Apabila Presiden dan DPR saja sudah tidak sah dan ilegal, maka bagaimana cara mengganti Panglima TNI dan Kapolri," katanya.
Yusril mengatakan TNI dan POLRI sekarang ini bukan lagi ABRI zaman dulu yang berada dibawah satu komando, Panglima ABRI.
TNI dan POLRI sekarang terpisah dengan tugas masing-masing, dan punya komando sendiri-sendiri yang masing-masing bertanggung jawab secara terpisah kepada Presiden.
"Beruntung bangsa ini kalau Panglima TNI dan Kapolri kompak sama-sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pada saat yang sulit dan kritis. Tetapi kalau tidak kompak, bagaimana dan apa yang akan terjadi? Bisa saja terjadi dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara, TNI mengambil alih kekuasaan walau untuk sementara," katanya.
Sementara itu, di daerah, gubernur, bupati dan walikota masih sah menjalankan roda pemerintahan kalau masa jabatannya belum habis, tetapi tanpa kontrol DPRD dan juga tanpa pertanggungjawaban kepada Presiden sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Pasalnya DPRD dan Presidennya sudah ilegal.
Oleh karena itu kata Yusril keadaan bangsa dan negara akan benar-benar carut marut akibat penundaan Pemilu.
"Dalam suasana carut marut, timbullah anarki. Dalam anarki setiap orang, setiap kelompok merasa merdeka berbuat apa saja. Situasi anarki akan mendorong munculnya seorang diktator untuk menyelamatkan negara dengan tangan besi. Diktator akan mendorong konflik makin meluas."
"Daerah-daerah potensial bergolak. Campur-tangan kepentingan-kepentingan asing untuk adu domba dan pecah belah tak terhindarkan lagi. NKRI “harga mati” berada dalam pertaruhan besar," tuturnya.
Yusril menegaskan persoalan penundaan Pemilu yang berimplikasi kepada legalitas dan legitimasi kekuasaan ini tidak bisa diselesaikan dengan usulan-usulan Ketua-Ketua Umum Parpol yang sarat dengan kepentingan politik.
Meskipun usul itu kemudian disepakati oleh semua partai yang punya wakil di DPR, DPRD dan MPR, tetapi kesepakatan itu bukanlah kesepakatan lembaga-lembaga negara yang resmi dan legitimate untuk mengambil keputusan menurut UUD 45.
Menurutnya, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara, yakni:
(1) Amandemen UUD 45; (2) Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan (3) Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
"Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku," ujar Yusril.(*)
Sumber : Tribun-Video