Investigasi detikX menemukan total 48 tembakan dengan lebih dari 66 peluru gas air mata yang dilepaskan polisi di Stadion Kanjuruhan. Satu peluru diduga paling beracun diarahkan ke tribun 13. Ini diduga menjadi pemicu banyaknya korban jiwa di pintu 13, yang sebetulnya tidak pernah ditutup.
ASHA - into—bukan nama sebenarnya—tidak bisa beranjak lagi. Tubuhnya terimpit di antara tembok dan ribuan orang yang berjejal keluar melalui pintu 13 Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu, 1 Oktober 2022, malam. Video berdurasi 8 menit 13 detik yang direkamnya sendiri menunjukkan, langkah Rinto terhenti di jarak sekitar 2 meter dari pintu keluar. Setelah itu padat. Gelap. Rinto tidak selamat.
“Perekam video juga jadi korban meninggal. Tapi dia sempat kirim video ke temannya pakai Share It. Jadi metadatanya aman. Kami juga nggak tahu gimana caranya,” tutur sumber detikX yang tidak ingin disebut nama dan institusinya, saat ditemui di Malang pada Kamis, 6 Oktober lalu.
Rinto adalah salah satu dari 131 korban meninggal dunia dalam tragedi Kanjuruhan. Sebelum meninggal, ia sempat merekam tiga video yang menunjukkan detik-detik tragedi mencekam selepas pertandingan Arema FC versus Persebaya Surabaya. Video-video ini diambil dari tribun 13 di sisi selatan stadion atau biasa disebut curva sud.
Video dari Rinto menjadi petunjuk awal bagi tim investigasi detikX untuk mendalami apa yang sebetulnya terjadi di Stadion Kanjuruhan dan pintu 13 pada 1 Oktober malam itu. Tiga video yang direkam Rinto dikomparasikan dengan 11 video dari Radio Chakra Bhuwana (RCBFM), 3 video YouTube, dan 3 video dari media sosial.
Malam itu, setelah kekalahan Arema FC oleh tim tamu Persebaya Surabaya dengan skor 2-3, para pemain dan ofisial tim Arema tidak langsung masuk ruang ganti. Mereka tetap di lapangan untuk memohon maaf kepada suporter atas kekalahan timnya. Sebab, ini pertama kalinya Arema menelan kekalahan atas Persebaya setelah 23 tahun lamanya.
Sekitar 10 menit pascapertandingan, beberapa Aremania—sebutan untuk pendukung Arema—turun ke lapangan. Mereka datang untuk memeluk dan memberikan dukungan terhadap pemain. Setelah itu, berbondong-bondong Aremania lainnya ikut ke lapangan.
CS tidak lebih beracun saat terhirup dan melalui jaringan inhalasi dibandingkan dengan kerusakan jaringan yang menyebabkan kematian oleh CN.”
“Mereka mau ngasih dukungan ke pemain. Kan kalah, to, disemangatin,” tutur komisioner Komnas HAM Choirul Anam kepada reporter detikX pekan lalu.
Kondisi masih terkendali sebelum pada akhirnya seorang anggota Zeni Tempur (Zipur) TNI melayangkan pentungan ke arah suporter yang tengah berkumpul di depan pintu masuk ruang ganti. Penonton bubar menuju tribun selatan dan timur. Satu suporter sempat terjatuh setelah menerima pukulan keras dari seorang anggota Zipur.
Tindak kekerasan yang menargetkan suporter tersebut membuat suporter lainnya marah dan ikut turun dari tribun untuk membantu rekan-rekannya. Mereka melempari aparat dengan botol air mineral plastik dan sepatu bekas. Lalu aparat membalas tindakan itu dengan memberondongkan tembakan gas air mata ke arah suporter di tribun selatan.
Dalam video berdurasi 1 menit 7 detik yang Rinto rekam, terlihat tembakan gas air mata pertama kali dilepaskan oleh satuan Brimob yang mengenakan rompi hijau. Tembakan itu dilepaskan pada pukul 22.08 WIB lebih 59 detik. Jaraknya sekitar 40 meter dari tribun 13. Ini terkonfirmasi juga dari tiga video lainnya yang diambil dari tribun barat VVIP dan dua dari tribun timur.
Tipe senjata yang digunakan Pasukan Antihuru-hara ini adalah Flash Ball Super Pro 44 mm. Sekali tembak, senjata ini dapat melontarkan dua peluru. Itu terkonfirmasi dari foto senjata gas air mata milik kepolisian yang tim detikX dapatkan.
Selain jenis senjata gas air mata dua laras, polisi menggunakan senjata gas air mata jenis lainnya. Senjata itu di antaranya senjata gas air mata 1 laras dengan 3 tabung, 1 laras 5 tabung, 1 laras dengan 1 tabung, dan 2 laras jenis Flash Ball Compact produksi Varney asal Prancis.
Secara total, tim detikX mendapatkan ada setidaknya 48 tembakan gas air mata dengan lebih dari 66 peluru yang dilepaskan kepolisian pada malam itu. Sebagian besar tembakan dilepaskan ke arah tribun selatan dan utara. Jumlah ini didapat dari hasil komparasi dan analisis dari total 16 rekaman video yang diambil dalam Stadion Kanjuruhan pada saat malam kejadian. Metadata berbagai video tersebut sudah teruji keasliannya.
Untuk meminimalkan kekeliruan dalam penghitungan, detikX mengerahkan empat orang untuk sama-sama mengecek jumlah tembakan dan letupan yang terdengar di setiap video. Jumlah yang didapatkan dari satu video akan dibandingkan lagi dengan video lainnya dari sisi berbeda dan dipastikan lagi menit serta detiknya.
Hasil analisis ini telah detikX sampaikan kepada Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo. Namun, Dedi mengaku tim penyidik masih membutuhkan waktu untuk menganalisis ulang temuan ini. "Hanya sesuai info sementara, senjata gas air mata yang ditembakkan oleh oknum anggota Polri dengan total berjumlah 11 kali,” kata Dedi Prasetyo kepada reporter detikX pada Senin, 10 Oktober 2022.
Dalam analisis berbagai bukti video tersebut, tim detikX juga mendapati fakta bahwa yang menembakkan gas air mata di Stadion Kanjuruhan bukan hanya dari Satuan Brimob, tapi juga dari Sabhara. Tembakan dari Satuan Sabhara dapat terdeteksi dari daya lontarnya yang lebih jauh dibandingkan peluru gas air mata lainnya. Sedikitnya ada dua kali tembakan gas air mata yang dilepaskan oleh Satuan Sabhara dari arah tribun barat VVIP.
Jenis gas air mata yang digunakan Sabhara adalah MU53-AR. Peluru ini memiliki berat sekitar 115 gram dengan bahan utamanya adalah serbuk 2-chlorobenzalmalononitrile (CS powder). Ini terkonfirmasi juga dari foto selongsong gas air mata yang didapatkan kepolisian pada saat Tragedi Kanjuruhan.
“Yang merah ini untuk mengurai massa dalam jumlah besar,” ungkap Dedi Prasetyo kepada media pada Senin, 10 Oktober 2022. “Bahwa gas air mata atau CS ini dalam skala tinggi pun tidak mematikan.”
Dedi mengklaim polisi dalam tragedi ini hanya menggunakan tiga jenis gas air mata yang berwarna hijau, biru, dan merah. Namun tim investigasi detikX justru mendapatkan foto delapan jenis gas air mata yang diduga digunakan oleh kepolisian. Gas air mata ini masing-masing berwarna hijau, biru, merah, kuning, abu-abu, dan silver. Abu-abu memiliki setidaknya tiga varian, yakni dua berkaliber 38 mm dan satu berkaliber 44 mm.
Satu peluru berwarna silver teridentifikasi merupakan jenis MU24-AR berkaliber 38 mm produksi PT Pindad (Persero). Peluru ini diduga paling beracun lantaran tidak hanya dapat diisi dengan zat CS saja, tapi juga zat 1-chloroacetophenone (CN).
Dalam jurnal berjudul ‘The Comparative Acute Mammalian Toxicity of 1-chloroacetophenone (CN) and 2-chlorobenzylidene malononitrile (CS)’ disebutkan bahwa CN jauh lebih berbahaya daripada CS. Sekali hirupan gas CN tidak hanya dapat membuat sesak napas, tapi juga menyebabkan terjadinya kerusakan organ.
“CS tidak lebih beracun saat terhirup dan melalui jaringan inhalasi dibandingkan dengan kerusakan jaringan yang menyebabkan kematian oleh CN,” begitu keterangan dari jurnal tersebut.
Dari rekaman video yang tim detikX dapatkan, ada setidaknya dua kali peluru MU24-AR ini digunakan. Peluru ini dapat terdeteksi dengan mudah lantaran karakternya yang sangat berbeda dengan gas air mata lainnya. MU24-AR memiliki ciri khusus, yakni tidak langsung mengeluarkan asap saat ditembakkan. Ada jeda 2-5 detik setelah ditembakkan sebelum akhirnya peluru ini meledak atau mengeluarkan asap.
Satu peluru jenis MU24-AR ini jatuh di tribun 13 pada pukul 22.12 WIB lewat 3 detik. Itu terlihat dari rekaman berdurasi 8 menit 13 detik milik Rinto dan telah detikX komparasikan juga dengan satu video lainnya dari sudut berbeda. Peluru MU24-AR ini meledak dan mengeluarkan asap persis setelah jatuh di tribun 13.
Dua saksi suporter yang menonton di tribun 13 dan 12 mengaku tembakan yang jatuh di tribun inilah yang paling membuat mata perih dan sesak napas. “Jadi kayaknya ada tiga tahap gitu. Satu masih biasa saja. Dua juga masih biasa. Tapi yang ketiga ini perih banget, langsung kabur semuanya,” tutur seorang Aremania kepada reporter detikX pekan lalu.
Asap dari peluru inilah yang membuat kepanikan di tribun 13. Sedikitnya 6.000 Aremania berdesakan keluar melalui pintu 13. Mereka berjejal keluar melalui pintu yang saat itu sebetulnya masih terbuka, meski hanya 1,5 meter saja.
“Di video (CCTV), yang selamat berusaha menarik manusia yang bertumpuk-tumpuk. Ada yang lolos, ada yang tidak bisa ditarik karena terganjal besi pembatas pintu. Itu terjadi setelah Aremania panik terimbas gas air mata,” tutur sumber detikX di Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) pada Minggu, 8 Oktober lalu.
Sumber ini mengatakan TGIPF juga mencurigai adanya zat berbahaya dalam komposisi gas air mata yang digunakan saat Tragedi Kanjuruhan. Kecurigaan itu muncul setelah TGIPF melihat wajah sebagian korban meninggal dunia yang tampak biru, bahkan cenderung hitam.
Saat ini, kata sumber tersebut, TGIPF tengah melakukan uji laboratorium beberapa contoh gas air mata yang digunakan dalam Tragedi Kanjuruhan. Selain itu, TGIPF tengah berkeliling mendatangi keluarga korban meninggal dunia untuk meminta izin autopsi pada jenazah korban.
“Saya kemarin dari pagi sampai malam nyari keluarga yang mau atau boleh jenazah korban diautopsi. Dan saya gagal,” kata sumber ini.
Komnas HAM juga tengah melakukan uji laboratorium atas beberapa bukti gas air mata yang ditemukan di lapangan. Uji laboratorium ini dilakukan setelah mendapatkan bukti satu selongsong peluru yang diduga sudah kedaluwarsa. Dalam foto yang didapatkan tim detikX, satu peluru diduga kedaluwarsa ini berwarna kuning, yang seharusnya digunakan sebelum 2019.
“Ya, ada yang kedaluwarsa, tapi masih kami uji. Kami juga dapat satu isi dari gas air mata, ini waktu kami pegang masih terasa panas di kulit. Sekarang sedang dilakukan uji laboratorium,” jelas komisioner Komnas HAM Choirul Anam.
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyampaikan tim penyidik juga masih terus melakukan investigasi terhadap jenis peluru gas air mata yang digunakan dalam Tragedi Kanjuruhan. Namun, pada intinya, Dedi menyampaikan tidak ada satu pun gas air mata yang digunakan polisi dapat menyebabkan kematian.
“Di dalam gas air mata tidak ada racun atau toxic yang menyebabkan matinya seseorang,” pungkas Dedi pada Senin, 10 Oktober 2022.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, May Rahmadi, Rani Rahayu, Thovan Sugandi
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban
Sumber : DetikX